Usut Tuntas Kasus BLBI, Hardjuno Tegaskan Negara Tidak Boleh Tunduk Pada Salim Grup

JAKARTA || jerathukum.com

Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) diminta agar lebih fokus mengeksekusi hak tagih kepada para obligor dan debitor yang telah mengemplang puluhan tahun. Apalagi, mereka tidak punya iktikad baik sama sekali menyelesaikan kewajibannya kepada negara.

Seperti hak tagih negara kepada salah satu obligor dan keluarga terhitung sejak 1998 sampai 2023. Berdasarkan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Audit Investigasi BPK 2000-2004, setidaknya hak tagih negara dari salah satu obligor tersebut tidak kurang dari 198 triliun rupiah dengan personal quarantee.

Di Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa penghapusan piutang negara di atas 100 miliar rupiah hanya bisa ditetapkan Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR. Sampai sekarang, Presiden tidak pernah menghapusnya. Artinya piutang tersebut masih aktif.

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Rabu (22/2), mengatakan pentingnya Satgas fokus pada eksekusi hak tagih agar upaya yang mereka lakukan lebih efektif dan bisa memberikan hasil pengembalian kerugian negara secara optimal.

Upaya yang Satgas lakukan saat ini lebih banyak berburu aset dan mengeklaim telah mengamankan senilai puluhan triliun. Klaim tersebut justru terkesan semu karena aset yang disita langsung divaluasi, bukan berdasarkan harga jual yang bisa langsung disetorkan ke kas negara.

Lebih lanjut, Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho meminta Satuan Tugas (Satgas) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar fokus mengeksekusi hak tagih kepada para obligor dan debitor yang mengemplang uang rakyat puluhan tahun.

Langkah tegas sangat diperlukan mengingat mereka tidak punya niat sama sekali menyelesaikan kewajibannya kepada negara.

“Saya kira, bangsa ini tidak boleh tunduk pada mereka (konglomerat hitam_red) yang nyata-nyata telah membuat bangsa ini hancur. Ingat, mereka ini mengisap darah rakyat lewat uang pajak yang telah dibayarkan kepada negara. Dan tatkala mereka sudah kembali kaya raya, rakyat di-lepehin,” ujar Hardjuno Wiwoho di Jakarta, Kamis (23/2).

Menurutnya, salah satu persoalan yang hingga kini ‘belum tuntas’ yakni soal dugaan adanya hak tagih negara kepada pemilik lama BCA yakni Anthony Salim dan Keluarga sejak 1998 sampai dengan 2023.

Di samping itu, Masalah ini menjadi bertambah runyam setelah pemerintah menjual salam di BCA melalui program divestasi kepada konsorsium Farallon Capital pada 2002 lalu dengan harga saham yang sangat murah atas intervensi Dana Moneter Internasional (IMF).

“Mengapa tak ada satupun pihak yang benar-benar berani mengusut hingga tuntas kasus BLBI BCA ini. Dan saya kira, negara ini tidak boleh tunduk dan kalah sama Anthony Salim Cs,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua DPD RI, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti dan tiga Wakil Ketua yakni Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan B. Najamudin sudah mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait hasil kerja Pansus BLBI DPD RI.

Butir kedua rekomendasi tersebut menegaskan Pansus BLBI DPD RI menemukan adanya ketidakwajaran (irregularity) dalam proses penjualan aset BCA dari BPPN kepada pembeli baru.

Sedangkan butir ketiga, Pansus BLBI DPD RI menemukan adanya ketidakwajaran saat BCA dikelola oleh tim kuasa direksi yang ditunjuk oleh pemerintah.

“Berdasarkan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Audit Investigasi BPK 2000- 2004, diduga ada tidak kurang dari 198 triliun rupiah dengan jaminan perorangan atau personal quarantee,” kata Hardjuno.

Hardjuno menyayangkan Satgas BLBI terus menyebut sejumlah angka hingga Rp 28 triliun atas aset sitaan sejumlah obligor.

Padahal, aset tersebut belum terjual. Hal itu berpotensi bisa mengulangikesalahan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu saat menyita aset obligor BLBI ini.

“Namun ketika dijual harganya tidak sampai 10 persen dari nilai awal atau yang dijaminkan,” tegasnya.

Sementara, lebih lanjut Kembali Hardjuno mengingatkan pada poin rekomendasi Keempat, Pansus BLBI DPD RI yang menyatakan bahwa hasil temuan audit BPK mengenai temuan BLBI belum ada tindak lanjut oleh pemerintah.

Padahal, hasil audit BPK terkait temuan BLBI tersebut diduga adanya indikasi tindak pidana korupsi.

“Maka lebih penting Satgas fokus pada eksekusi hak tagih agar upaya yang mereka lakukan lebih efektif dan bisa memberikan hasil pengembalian kerugian negara,” sarannya menekankan.

“Dan bukan memburu aset dan mengklaim telah mengamankan senilai puluhan triliun. Klaim tersebut justru terkesan semu, karena aset yang disita langsung divaluasi, bukan berdasarkan harga jual yang bisa langsung disetorkan ke kas negara,” pungkas Hardjuno.

( Niko )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *