JAKARTA || jerathukum.com
Setelah mengajukan permohonan uji formil Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi pada 25 Januari 2023, perjuangan Gabungan Serikat Pekerja terus berlanjut. Hari ini, melalui kuasa hukumnya Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, sebanyak 13 (tiga belas) Serikat Pekerja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Adapun ketiga belas gabungan serikat pekerja tersebut yang secara resmi telah memberikan surat kuasanya ke INTEGRITY, terdiri dari:
1. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional;
2. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
3. Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
4. Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
5. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
6. Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan;
7. Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia;
8. Gabungan Serikat Buruh Indonesia;
9. Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia;
10. Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia;
11. Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (PELITA) Mandiri Kalimantan Barat;
12. Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92; dan
13. Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Gugatan ini diajukan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas tindakannya yang tidak melaksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja (Putusan MK Cipta Kerja) berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja.
Dalam kacamata hukum administrasi negara, tindakan Presiden dan DPR tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad/OOD). Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jenis perkara OOD menjadi kewenangan PTUN sepenuhnya dari yang sebelumnya adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Oleh sebab itu, Gabungan Serikat Pekerja ramai-ramai gugat Presiden dan DPR ke PTUN.
Para Penggugat menilai bahwa tindakan Presiden dan DPR yang tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu, bukan saja bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
“Memang sejak awal UU Cipta Kerja ini sudah bermasalah, mulai dari proses pembentukannya yang relatif cepat dan tidak partisipatif, serta kesalahan ketik yang berdampak terhadap kesalahan substansi. Fenomena tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa terhadap UU Cipta Kerja perlu dilakukan perbaikan.”Tegas Denny Indrayana, Senior Partner INTEGRITY Law Firm.
Itulah sebabnya, jika melihat dan membaca ulang poin utama mengapa MK memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, dikarenakan UU tersebut dinilai sarat akan permasalahan, terutama soal proses pembentukannya yang tidak melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Uniknya, perintah dari putusan MK tersebut justru dijawab baru-baru ini oleh pemerintah dengan menerbitkan sebuah produk hukum baru, yakni Perppu Cipta Kerja.
“Aneh tapi nyata, Presiden yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya paham akan situasi seperti ini, begitu juga dengan DPR. Tetapi memang sejak awal (Presiden dan DPR) tidak ingin mengindahkan putusan MK, maka dengan seenaknya putusan MK tersebut mereka abaikan”, Pungkas Moh. Jumhur Hidayat, selaku ketua umum Gabungan Serikat Pekerja.
Denny Indrayana menegaskan, sikap Presiden dan DPR yang demikian, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi. Pelecehan dimaksud karena berani menentang amar putusan MK. Perintah dari putusan MK Cipta Kerja adalah memperbaiki UU Cipta Kerja, sudah pasti output yang dihasilkan dari produk tersebut adalah Undang-Undang perbaikan. Namun, nyatanya yang dihadirkan oleh pemerintah adalah produk hukum berupa Perppu Cipta Kerja.
“Sangat mudah untuk dibaca, bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah untuk menghindari ruang dialog yang rumit. Dengan kata lain, Perppu yang dilahirkan oleh pemerintah (Presiden) lebih mencoba untuk menghindari proses pembahasan ditingkat stakeholder, khususnya terhadap beberapa pihak yang secara langsung terdampak”.Tutup Denny Indrayana, yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara.
( Anto/Niko )