JAKARTA || jerathukum.com
Gencarnya pemberitaan tentang praktek gratifikasi di institusi kepolisian seperti yang dilakukan Bripka Andry, Anggota Brimob di Rokan Hilir, yang menyetor ke atasannya sebesar Rp. 650.000.000,- agar tidak dimutasi, turut menyita perhatian Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A. Melalui rilis tertulis, Rabu (7/6/2023), ke awak media ia menyampaikan bahwa masalah setoran ke atasan itu sudah membudaya di institusi Polri.
“Bukan hanya di level bawah, tapi justru marak juga di level atas, bahkan di Mabes Polri. Sudah menjadi rahasia umum, untuk dapat naik pangkat, dapat jabatan, mau sekolah, dan lain sebagainya, semua harus pakai duit,” ungkap Wilson Lalengke.
Tokoh Pers Nasional tersebut mengatakan bahwa apa yang dikatakan IPDA Aksan dari Polres Toraja beberapa waktu lalu soal setoran-setoran, itu benar sekali adanya. Selain itu, sambungnya, ada cerita lama yang mungkin masih terjadi hingga hari ini, bahwa untuk dapat pangkat bintang, seorang polisi harus sowan ke TW alias Tomi Winata, seorang konglomerat besar Indonesia.
“Konon ada cerita kawan, jika ingin dapat pangkat bintang, polisi tersebut harus sowan ke TW alias Tomi Winata. Tujuannya agar ada kucuran dana dari Tauke ini untuk si calon jenderal bintang satu itu bisa naik pangkat dari perwira menengah ke perwira tinggi,” jelas Alumni PPRA-48 Lemhanas RI tahun 2012.
Seorang teman lainya juga cerita, lanjut Wilson Lalengke, dia membantu seorang kombes senior yang tidak naik-naik pangkatnya untuk dapat bintang satu. Sahabatnya, seorang pengusaha yang main (usaha – red) di batubara ini membantu si kombes 2 miliar sebagai setoran agar dia bisa dipromosikan dapat bintang.
“Jabatan Kapolda dan Kapolres itu bukan gratis, semua pakai uang. Lokasi penempatan juga menentukan harga. Jadi Kapolres dan Kapolda di Kalimantan lebih mahal setorannya daripada di beberara daerah ‘kering’ di Sumatera,” ungkap Direktur Permata Indonesia itu.
Menurutnya, di TNI juga tidak steril dari praktek seperti itu. Tapi tidak semassif dan terstruktur seperti di lembaga baju coklat. Selain itu, peran partai politik juga berpengaruh kuat dalam menyemai perilaku sogok-menyogok di internal Polri dan lembaga lainnya selama ini.
“Peran orang-orang di Senayan berpengaruh kuat dalam praktek gratifikasi tersebut. Fit and proper test pejabat di DPR dan/atau DPRD itu hanya formalitas belaka. Yang menentukan lolos tidaknya seseorang jadi pejabat publik di tingkat tinggi adalah ketebalan amplop coklat yang disediakan kandidat,” tutur lulusan pasca sarjana di tiga universitas ternama Eropa tersebut.
Ia menambahkan, bahkan yang mengagetkan adalah untuk jadi menteri di kabinet Jokowi dan sebelumnya selama ini, yang bersangkutan harus siapkan bohir kalau tidak punya modal sendiri. Range harga jabatan menteri itu bervariasi, tergantung basah-keringnya kementerian yang disasar. Info yang Wilson Lalengke pernah terima, banderol jabatan menteri itu mulai dari 400 miliar hingga 3 triliun.
“Jadi, jangan heran kalau banyak menteri akhirnya ditangkap KPK. Kerjanya mengembalikan dana setoran tadi selama jadi menteri. Polanya, bisa mark-up biaya proyek, jualan proyek, setoran kontraktor, dan lain-lain. Kisruh-kisruh OPM, terorisme, perang (semisal Ukraine vs Rusia), dan lain-lain, merupakan mainan para elit agar praktek sogok-menyogok ke atasan yang melahirkan aksi perampokan ke level bawah tidak mengemuka ke publik. Kasihan rakyat memang, tapi inilah situasi Indonesia selama ini. Parah sudah negara ini,” pungkas Presiden Persisma (Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko – red) itu.
[ Niko ]