PURBALINGGA || jerathukum.com
Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan anggota DPR RI daerah pemilihan (Dapil) VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen Bambang Soesatyo, mengingatkan masih adanya kesenjangan sosial ekonomi di tengah masyarakat Indonesia Hingga Maret 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar 9,36 persen. Artinya, masih ada sekitar 25,9 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Angka tersebut sebenarnya lebih kecil dibandingkan angka kemiskinan pada bulan September 2022, sebesar 9,57 persen atau 26,36 juta orang. Meskipun demikian, angka ini tidak lebih baik dari catatan pada periode sebelum pandemi yakni sebesar 9,22 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya mampu memulihkan kondisi perekonomian nasional,” ujar Bamsoet saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama DPD Partai Golkar Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, Sabtu (18/22/23).
Hadir dalam acara tersebut wakil ketua DPRD sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Purbalingga Tenny Juliawaty, Kepala Kesbangpol Purbalingga Pandi, Caleg DPRD Kabupaten Purbalingga, dari Polres, Kejari serta para fungsionaris Partai Golkar Purbalingga.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menuturkan, penurunan angka kemiskinan tersebut juga tidak diimbangi oleh penurunan angka ketimpangan distribusi pendapatan atau rasio gini sebesar 0,388. Angka ini meningkat dari bulan September 2022 yang tercatat sebesar 0,381, dan semakin menjauh dari target yang ditetapkan pada RPJMN 2020-2024 sebesar 0,374.
Sebagai data pembanding, World In-equality Report tahun 2022 mencatat bahwa meskipun tingkat kekayaan masyarakat Indonesia meningkat signifikan sejak tahun 1999, namun tingkat ketimpangan kekayaan masih cenderung stagnan. Rasio kesenjangan pendapatan pada tahun 2021 berada di level 1 banding 19. Artinya, jumlah penduduk terkaya memiliki pendapatan rata-rata 19 kali lipat lebih tinggi dari jumlah penduduk termiskin.
“Kesenjangan ekonomi ini tidak boleh kita abaikan begitu saja. Karena jika merujuk pada survei Litbang KOMPAS, bahwa 19,2 persen terjadinya aksi radikalisme di Indonesia dipicu oleh faktor ekonomi,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi, bangsa Indonesia sudah sepatutnya mengingat landasan paling fundamental dari konsep bela negara, yaitu perasaan senasib sepenanggungan yang dijiwai semangat persatuan dan kesatuan.
“Tidak hanya itu, ada pula keberadaan sistem ekonomi Pancasila yang dapat diterapkan sebagai sebuah sistem yang khas dan asli. Tidak “latah” mengikuti salah satu dari dua kutub besar perekonomian global diantara kapitalisme atau sosialisme,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, sistem perekonomian yang merujuk Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan secara yuridis konstitusional telah diatur secara tegas dalam konstitusi. Dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang mengedepankan nilai-nilai religiusitas, humanitas, nasionalitas, demokrasi, dan keadilan sosial akan mempercepat pemulihan perekonomian nasional.
“Pemulihan perekonomian dapat ditekankan pada peningkatan ekonomi sektor riil, seperti memberikan kemudahan permodalan dan stimulus bagi pertumbuhan dunia usaha secara adil, baik bagi pelaku usaha kecil maupun besar. Secara garis besar, pemulihan perekonomian berdasarkan sistem ekonomi Pancasila diupayakan melalui langkah-langkah strategis yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat,” pungkas Bamsoet.
(Red-Dwi)